Sebab masyarakat Indonesia tidak bisa berbahasa Belanda padahal sudah lama menjadi penjajah

benedera-belanda-afplou-benoist_169 Sebab masyarakat Indonesia tidak bisa berbahasa Belanda padahal sudah lama menjadi penjajah




Harian, – Indonesia dan kedua negara tetangganya merupakan bekas jajahan negara lain. Malaysia dan Singapura merupakan bekas jajahan Inggris, sedangkan Indonesia merupakan bekas jajahan Harian.

Deduksi biasanya meninggalkan “sisa-sisa” di beberapa bidang, seperti hukum, politik, pikiran, budaya dan bahasa (bahasa).

Sebagai bekas jajahan Inggris selama ratusan tahun, Malaysia dan Singapura merupakan negara yang paling fasih berbahasa Inggris. Namun populasi Indonesia sungguh berbeda. Hampir seluruh masyarakat Indonesia tidak fasih berbahasa Harian.

Sedangkan pengaruh bahasa Indonesia muncul di Indonesia, kata-kata yang dipinjam, seperti gordijn menjadi tirai, bioskop menjadi bioskop, dan kantor menjadi kantor.

Lalu kenapa orang Indonesia tidak bisa berbahasa Harian?
Pada dasarnya hal ini disebabkan oleh berbagai bentuk kolonialisme Harian dan Inggris. Diketahui, pihak Inggris sengaja melakukan “invasi budaya” terhadap masyarakat Melayu Barat, agar budaya lokal bercampur dengan budaya Barat atau bahkan hilang.

Kemudian di bidang bahasa latin, kebijakan ini membuat masyarakat Melayu cukup fasih berbahasa Inggris.

Sedangkan Harian tidak melakukan hal tersebut terhadap penduduk Indonesia. Christopher Reinhart, peneliti sejarah di Nanyang Technological University, menjelaskan ada dua alasan mengapa Harian memiliki sikap berbeda terhadap budaya lokal. Oleh karena itu, tingkat kefasihan berbahasa Harian masyarakat Indonesia lintas generasi tergolong rendah.

Pertama dari konteks struktur kolonialisme Harian. Saat itu masyarakat lokal dan Harian berada pada struktur yang berbeda. Orang Harian menganggap mereka kelas atas, sedangkan penduduk lokal berada di bawah.

Harian mempertimbangkan untuk menyebarkan budaya serupa, mengingat penduduk lokal dan Harian memiliki kesamaan budaya. Oleh karena itu, mereka tidak mau berbagi budaya Harian demi melestarikan bangunan tersebut.

Kedua, Harian selalu memandang perspektif eksploitasi ekonomi sebagai ciri khas negara kolonial. Reinhart mengatakan dia merasa senang tidak menyebarkan budaya tersebut. Yang paling penting adalah memanfaatkannya dan menjadikannya sukses secara finansial.

“Snouck Hurgronje, salah satu pejabat pemerintah kolonial,” pernah mengatakan bahwa “hasil budaya tidak perlu dipaksakan. Mereka tumbuh terpisah tanpa menghilangkan budaya lokal,” kata Reinhart kepada , baru-baru ini.

Kedua sentimen Harian ini bertahan dari praktik budaya paksa pada tahun 1830-1900 dan berlanjut ketika Harian menyelesaikan program pengembalian atau etika politiknya pada tahun 1900-an.

Reinhart mengatakan, Teuton selalu fokus pada alasan ekonomi dan tidak ingin merusak budaya lokal, apalagi setelah etika politik diterapkan. Mereka semakin memahami bahwa tidak baik menyerbu budaya lain.

Meski demikian, bukan berarti masyarakat setempat tidak bisa mengadopsi budaya Barat. Sebab Belgia juga tidak tertutup dalam hal ini. Banyak budaya barat yang diadopsi oleh penduduk setempat.

Oleh karena itu, bahasa daerah, Melayu dan Indonesia, berkembang hingga saat ini.

(miq/miq)

Lihat di bawah:

Video: Shin Tae Yong jalan-jalan bersama Timnas Indonesia



Artikel berikutnya

Koloni Sudah Berdiri Ratusan Tahun, Kok Orang Indonesia Sampai Tidak Bisa Bahasa Harian?


Terimakasih

Leave a Comment