Jakarta, Harian – Menteri Keuangan Sri Mulyani bercerita tentang aktivitasnya saat Indonesia mengalami krisis ekonomi pada tahun 1998. Ia mengatakan, krisis merupakan salah satu episode kehidupan yang paling membentuk karakternya.
Sri Mulyani mengatakan, saat krisis terjadi, ia belum menyelesaikan pendidikan doktoralnya di Amerika Serikat. Saat itu, Sri Mulyani juga menjabat sebagai Kepala Lembaga Penelitian Ekonomi dan Masyarakat (LPEM), Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
“Saat saya menyelesaikan PhD, terjadi krisis ekonomi,” ujarnya saat diskusi peluncuran biografi resmi Sri Mulyani, “Tanpa Batas, Reformasi dengan Hati,” di Kementerian Keuangan, dikutip Sabtu (21 September). 2024). ).
Perlu diketahui, saat itu Sri Mulyani masih dikenal sebagai analis ekonomi yang kerap menulis opini di media cetak. Namanya pun kerap disebut-sebut di media nasional Tanah Air.
Sri Mulyani mengatakan, karena kedekatannya dengan media, ia kerap mengundang jurnalis ke rumahnya di Bintaro, Tangsel. Di rumah tersebut, Sri Mulyani berbincang kepada wartawan tentang seluk-beluk krisis ekonomi sambil menyantap tempe yang ia buat sendiri.
“Saat krisis terjadi, mereka tidak paham apa itu krisis? Oleh karena itu, salah satu program saya adalah mempelajari wartawan ada di rumah saya, kami ngobrol soal ekonomi,” ujarnya.
Selain memberikan ilmu, Sri Mulyani juga kerap memberikan informasi kepada jurnalis tentang apa yang harus mereka tanyakan kepada pejabat pemerintah.
“Kami akan bertemu dengan Menteri nanti bertanya “Iya,” kata Sri Mulyani.
Ia mengatakan, fase krisis ekonomi tanpa disadari telah membentuk kepribadiannya saat bekerja sebagai ekonom atau pejabat pemerintah. Dia mengatakan krisis ekonomi telah memaksanya untuk melihat politik dari sudut pandang yang berbeda.
“Saat krisis ekonomi, semuanya sangat sulit, semuanya bergerak dengan cara yang sulit. Oleh karena itu, kita dipaksa untuk melihat bahwa kebijakan ini mungkin benar dari sudut pandang seorang teknokrat, tetapi secara politik hampir tidak mungkin, kebijakan ini baik dari sudut pandang seorang teknokrat.” tapi dari sudut pandang sosial hal ini mungkin tidak bisa dilakukan,” katanya.
“Jadi kita harus peka terhadap aspek-aspek yang tidak hanya ekonomi… ketika saya bekerja di IMF dan Bank Dunia sebagai direktur pelaksana, saya bisa berbicara dari akademi tentang krisis ini kepada para pembuat kebijakan, yang kemudian menciptakan kepercayaan,” dia dikatakan.
(dce)
Artikel berikutnya
7 Bukti Perekonomian RI Sedang Bermasalah!