Jakarta, Harian – Salah satu cerita paling populer di dunia Islam adalah terkait kematian Abrahah yang ingin menghancurkan Ka'bah. Dikisahkan bahwa Abrahah yang menunggangi seekor gajah memimpin penghancuran Ka'bah dan kota Mekkah. Tujuannya agar peziarah bisa mengunjungi candi yang dibangunnya.
Pada saat ini, penjaga gerbang Ka'bah dan seorang pria terhormat di Mekah bernama Mutalib berdoa kepada Tuhan. Dia ingin Ka'bah dan Mekah diselamatkan. Maka setelah kami mendengarnya, ribuan burung datang dan melempari tim Abrahah dengan kerikil panas.
Mereka kemudian mati dalam keadaan melepuh, sama seperti gajah. Mutalib pun ikut berbahagia karena Ka'bah dan Mekkah masih diselamatkan Tuhan melalui burung bernama Ababil.
Peristiwa ini kemudian tercatat dalam sejarah sebagai “Perang Gajah”. Pada tahun yang sama, lahirlah Muhammad yang kemudian menjadi nabi umat Islam ke-25. Demikianlah cerita Nabi Muhammad lahir pada tahun gajah, tepatnya 12 Robiul Awal 570 Masehi.
Kisah-kisah populer seperti ini memotivasi para sejarawan untuk menemukan jawaban sebenarnya atas peristiwa ini. Benarkah Abrahah meninggal karena kerikil panas? Apa historisitas burung pembawa kerikil ini?
Pada tahun 2015, muncul penelitian bertajuk “Tahun Gajah” yang berupaya menawarkan hipotesis mengenai isu-isu tersebut berdasarkan konteks sejarah. Penulis: John S. Marr, Elias J. Hubbard, dan John T. Cathey. Ketiganya merupakan peneliti sejarah di Amerika Serikat yang mengamati kisah gagalnya penyerangan Abraha berdasarkan ayat 3, 4, dan 5 surat al-Fil.
Mereka menyatakan, penggambaran meninggalnya Abraha dan awak kapal dengan keadaan mengenaskan dengan munculnya luka bernanah dan darah bukan disebabkan oleh batu panas, melainkan kemungkinan besar akibat tertular suatu penyakit yakni cacar.
Pasalnya, gambaran meninggalnya Abrara dan tentara, yaitu adanya luka atau luka yang mengeluarkan nanah dan darah, mirip dengan gambaran penyakit cacar yang sudah banyak diingat orang.
Selain itu mereka juga menyoroti ayat ke 5 surat al-Fil yaitu: “fa jaalahum kaasfim makulArtinya: “Kemudian Dia jadikan mereka seperti dedaunan yang dimakan (cacing).”
Tim peneliti berpendapat bahwa metafora “daun yang dimakan (ulat)” dapat diartikan sebagai tunggul yang tertinggal di ladang tandus atau untaian putus yang terlihat pada kotoran hewan.
“Ini tafsir tentang mayat yang melepuh dan membusuk. Sebuah interpretasi yang menyempurnakan gambaran kematian dan kematian akibat epidemi cacar,” kata John S. Marr dan lainnya.
Sekitar tahun 580 M, tahun yang sama ketika Abraha menyerang, wabah cacar merebak di Semenanjung Arab. Sumber-sumber tradisional modern membuktikan bahwa cacar menjadi penyakit endemik yang menyerang desa-desa terpencil dan kemudian diperburuk oleh aktivitas suku-suku nomaden.
Mekah sebagai kota perdagangan tentu saja dilanda penyakit cacar karena banyak orang yang melewatinya dan bisa membawa berbagai jenis penyakit. Penyakit cacar mayor dikatakan. Berdasarkan uraian kematiannya, Abrahah kemungkinan besar meninggal karena penyakit cacar.
“Jelas bahwa suatu wabah melanda penduduk Aksum selama pengepungan Mekah pada tahun 570. Bukti yang terpisah-pisah mendukung keberadaan penyakit cacar. Belakangan, epidemi yang lebih besar di Afrika Utara dan wilayah pesisir Mediterania jelas merupakan penyakit cacar,” kata John S. Marr dan peneliti lainnya. .
Sedangkan mengenai burung ababil pembawa kerikil, John S. Marr dkk mengatakan bahwa burung ini menyinggung nama latin “menelan”. Gudang Menelan. Burung-burung ini bermigrasi ke dan dari Afrika setiap musim gugur dan musim semi melalui Jazirah Arab. Menariknya, burung ini mempunyai kebiasaan mengumpulkan kotoran dan tanah di paruhnya.
“Meskipun mereka tidak diketahui membawa benda dengan cakarnya, baik jantan maupun betina sering mengumpulkan tanah dan rumput di paruhnya untuk membuat sarang berbatu berbentuk cangkir yang terdiri dari ratusan keping tanah liat,” kata tim peneliti.
Diketahui, gajah yang dibawa Abrahah adalah gajah Afrika. (Loxodonta africana pharaoensis), yang sudah punah. Terlepas dari kebenaran sejarah penyerangan tersebut, satu hal yang pasti: Abrahah memang terbunuh dalam penyerangan di tanah Mekah.
Kematian Abrahah merupakan peristiwa sejarah yang penting karena jika ia masih hidup, jalan sejarah akan berbeda. Dia akan sangat kejam, menindas dan membunuh banyak orang, termasuk perempuan dan bayi. Semua ini kemungkinan besar terjadi dalam kehidupan Muhammad.
Tidak mengherankan, John S. Mahr et al.
“Wabah di Mekkah memang kecil dibandingkan dengan epidemi berikutnya, tapi secara historis ini sangat penting,”
(Kementerian Luar Negeri)