Jakarta, Harian – Pada akhir tahun 2024, Indonesia diproyeksikan akan meraup “windfall profit” hingga US$40 miliar atau Rp 606 triliun dari proyek “bangga” pengilangan bahan baku nikel dalam negeri yang diusung Presiden RI Joko Widodo (Jokowi). .
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia mengatakan nilai ekspor nikel Indonesia diperkirakan mencapai US$40 miliar atau setara Rp 606 triliun (dengan kurs Rp 606 triliun) hingga akhir tahun ini. 15.148 rupee per dolar AS).
Angka tersebut tentu saja naik dibandingkan nilai ekspor nikel pada tahun 2023 yang sebesar US$34,8 atau setara Rp 528 triliun. “Tahun 2023, dan sekarang kita sudah memasuki tahun 2024, saya jamin (nilai ekspor nikel) minimal US$40 miliar (Rp 606 triliun). Sekarang 34 miliar dolar AS,” jelasnya di Jakarta, dikutip Kamis. (26.09.2024).
Bahlil mengatakan, nilai ekspor nikel saat Indonesia tidak memiliki kebijakan daur ulang nikel, khususnya pada tahun 2018, hanya sebesar US$3,3 miliar atau setara Rp49,98 triliun.
Saat ini, lanjut Bahlil, Indonesia disegani oleh berbagai negara, antara lain Tiongkok, Amerika, dan negara-negara Eropa. Hal ini dinyatakan karena Indonesia bisa mencapai peningkatan nilai ekspor nikel yang signifikan dalam waktu 5 tahun.
“Yah, itu pertumbuhan ekonomi. Itu sebabnya daur ulang dan daur ulang sebenarnya hanya sebagian kecil dari penciptaan pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja,” ujarnya.
Sebelumnya, Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) kembali mengungkit persoalan biaya ekspor pengolahan nikel yang sudah dilakukan selama beberapa tahun. Pada tahun 2023, nilai ekspor rafinasi nikel mencapai US$34,8 miliar atau Rp528 triliun (kurs Rp15.175 per dolar AS).
Hal itu disampaikan Presiden Jokowi saat meresmikan injeksi bauksit tahap pertama di Pabrik Smelting Alumina Refinery (SGAR) milik PT Borneo Alumina Indonesia (BAI) di Mempawa, Kalimantan Barat, Selasa (24 September 2024).
Jokowi awalnya mengatakan kebijakan Indonesia yang melarang kegiatan ekspor bahan mentah dan pengolahan di dalam negeri kerap mendapat tekanan dari negara maju, salah satunya nikel.
Sementara itu, tidak ada keberatan terhadap pelarangan ekspor bauksit dari negara lain. Ini bisa jadi dampak geopolitik global, Covid, dan kemerosotan ekonomi. Jadi negara-negara maju sibuk dengan permasalahan dan permasalahannya masing-masing.
“Meskipun 4 tahun yang lalu kami menghentikan penambangan nikel, Uni Eropa menerima kami di WTO. Tapi setelah itu tidak terjadi, kami menghentikan penambangan bauksit, tidak ada yang mengeluh, tidak ada yang menggugat,” kata Jokowi.
(pgr/pgr)
Artikel berikutnya
RI menderita keruntuhan Durian! Proyek Kebanggaan Jokowi Bisa Kumpulkan Rp 1.140 Ribu