Jakarta, Harian – Siti Hardianti Rukmana (Tuthut Suharto) dan Siti Hediati Hariyadi (Tityek Suharto) meminta maaf jika ayah mereka yang merupakan Presiden kedua RI Soeharto melakukan kesalahan saat memimpin negara.
Hal ini terungkap saat kedua putri Soeharto menghadiri rapat nasional MPR dan keluarga Soeharto di Ruang Delegasi Kompleks Parlemen Senai, Jakarta Pusat, Sabtu (28 September) lalu. Mereka mendapat surat tanggapan dari pimpinan MPR terkait usulan Fraksi Golkar untuk mengecualikan nama Soeharto dari Pasal 4 TAP XI/MPR/1998.
Surat tersebut disampaikan Ketua MPR Bambang Soesatyo (Bamsoet) dan diapresiasi tinggi oleh keluarga Soeharto.
Dalam permintaan maafnya, Tutut menegaskan bahwa orang tidak selalu benar, termasuk ayahnya.
“Semua ini terjadi karena kesadaran dan juga rasa syukur kepada Tuhan yang memimpin bangsa dan negara ini selama 32 tahun. Memang benar tidak ada orang yang selalu benar, ya pasti ada saja kesalahannya. Kami juga mohon maaf jika Anda melakukan kesalahan selama ini. Kesalahan yang dilakukan pada masa kepemimpinan,” kata Tutut seperti dikutip detiknews, Minggu (29/9/2024).
“Kami adalah sebuah keluarga, dan setelah bertahun-tahun, akhirnya seseorang menyadari dan mengatakan sesuatu yang benar. Yang benar tetap benar, yang salah tetap salah, dan persatuan lebih penting dari pada saling balas dendam,” kata Tutut.
Titik mengatakan, jasa-jasa yang diberikan Soeharto kepada Indonesia merupakan hasil kerja sama seluruh pejabat di bawah kepemimpinannya. Ia pun meminta maaf atas kesalahan yang dilakukan Soeharto semasa menjadi pemimpin.
“Untuk itu Mbak Tutut tadi juga sudah menyampaikan bahwa kami mohon maaf. Namun kami juga tidak bisa melupakan apa yang telah bapak ibu lakukan selama 32 tahun memimpin bangsa ini,” kata Titik.
“Ke depan, segala kebaikan yang telah dilakukannya merupakan hasil kerja sama seluruh pejabat di bawah kepemimpinannya,” imbuhnya.
Sebelumnya, MPR RI menghapus nama Soeharto dari Ketetapan MPR (TAP) Nomor 11 Tahun 1998 tentang penyelenggaraan sistem bersih tanpa korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Keputusan itu diambil dalam rapat paripurna rapat akhir MPR RI Tahun 2024-2029.
Mengenai penyebutan nama Mantan Presiden Soeharto dalam TAP MPR Nomor 11/MPR Tahun 1998 secara langsung, diumumkan bahwa Pak Soeharto telah menyelesaikan pelaksanaannya sejak yang bersangkutan meninggal dunia, kata Bamsoet dalam sidang paripurna MPR/ DPR/DPD. Gedung RI, Senayan, Jakarta Pusat, Rabu (25 September) lalu.
Ini merupakan lanjutan surat Partai Golkar tertanggal 18 September 2024. Dikatakannya, meski MPR menyetujui pencabutan nama Soeharto, namun status hukum Ketetapan MPR Nomor 11 Tahun 1998 dinyatakan masih berlaku berdasarkan Ketetapan MPR Nomor I./MPR/2003.
Surat Fraksi Golkar tertanggal 18 September 2024 tentang ketentuan Pasal 4 Ketetapan MPR Nomor 11/MPR Tahun 1998, ujarnya.
Nama “Soeharto” muncul dalam Ketetapan MPR Nomor 11 Tahun 1998 (kini dicabut). Demikian bunyi pasal keempat Dekrit Republik Rakyat Mongolia yang mencantumkan nama Soeharto.
“Upaya pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme harus secara tegas ditujukan kepada siapa pun, termasuk pejabat pemerintah, mantan pejabat pemerintah, keluarga dan sahabatnya, serta individu/konglomerasi termasuk mantan Presiden Soeharto, dengan tetap memperhatikan asas praduga. kepolosan dan hak asasi manusia.”
(luar biasa/luar biasa)