Muncul Tanda-Tanda Ekonomi RI Terancam Gawat, Ini 5 Buktinya



11-provinsi-ini-alami-deflasi-parah-ada-kalimantan-papua_169 Muncul Tanda-Tanda Ekonomi RI Terancam Gawat, Ini 5 Buktinya



Daftar isi



Jakarta, Harian – Kondisi perekonomian Indonesia terbilang buruk di akhir masa pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Hal ini dinilai dari sejumlah indikator yang justru melemah.

Indikator datanya bisa dilihat mulai dari penurunan pendapatan domestik bruto (PDB), PMI manufaktur yang masih terkontraksi (deflasi lima bulan berturut-turut), dan kenaikan PHK.

Berikut rangkuman dan data yang menunjukkan kondisi perekonomian Indonesia memprihatinkan:

1. PDB Ingushetia menurun

Pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 5,05% year on year pada kuartal II tahun 2024. Capaian tersebut lebih rendah dibandingkan triwulan I tahun 2024 dan triwulan II tahun 2023.

Pertumbuhan ekonomi triwulan II tahun 2024 yang lebih rendah dibandingkan triwulan I tahun 2024 sejalan dengan pola musiman tahun-tahun sebelumnya yang pertumbuhan triwulan II lebih tinggi dibandingkan triwulan I.

Pada triwulan I tahun 2024, perekonomian mampu tumbuh sebesar 5,11%. Saat itu, perekonomian yang besar menjadi penggerak aktivitas dalam negeri seperti pemilihan umum dan Idul Adha.

Sementara itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati optimis pertumbuhan ekonomi kuartal III-2024 tetap stabil di atas 5%, tepatnya 5,06% year-on-year (YoY).

2. PMI sektor manufaktur kembali terkontraksi

PMI manufaktur Indonesia tercatat sebesar 49,2 pada September 2024, turun dibandingkan Agustus. Namun kondisi tersebut tidak mengabaikan fakta bahwa kondisi manufaktur Indonesia saat ini sangat memprihatinkan.

Data Purchasing Managers' Index (PMI) yang dirilis S&P Global menunjukkan PMI manufaktur Indonesia turun menjadi 49,2 pada September 2024. Artinya PMI manufaktur Indonesia mengalami kontraksi selama tiga bulan berturut-turut yaitu Juli (49,3), Agustus (48,9). ) dan September (49.2).

Terakhir kali Indonesia mencatatkan kontraksi output selama tiga bulan berturut-turut adalah pada awal pandemi Covid-19 pada tahun 2020, atau empat tahun lalu ketika aktivitas perekonomian terpaksa terhenti untuk mengurangi penyebaran virus.

Paul Smith, Direktur Ekonomi S&P Global Market Intelligence, mengatakan penurunan PMI manufaktur Indonesia disebabkan lemahnya permintaan dari luar negeri akibat lesunya perekonomian global.

Permintaan manufaktur global yang lesu membebani penjualan luar negeri. Pesanan ekspor baru bahkan turun selama tujuh bulan berturut-turut hingga mencapai level terendah sejak November 2022.

“Kinerja sektor manufaktur Indonesia yang kurang menggembirakan tidak lepas dari kondisi makroekonomi global yang secara umum lesu. Perusahaan meresponsnya dengan mengurangi aktivitas pembelian dan lebih memilih menggunakan inventaris serta menjaga biaya dan efisiensi operasional,” kata Paul dalam situs resminya.

Dengan lesunya permintaan, biaya produksi suatu barang justru meningkat signifikan akibat nilai tukar yang tidak menguntungkan. Inflasi yang terus turun ke level terendah dalam setahun, semakin kecil kemungkinannya untuk menurunkan biaya produksi.

Kabar positifnya adalah perusahaan mulai merekrut karyawan. Meskipun kondisi operasional kurang menggembirakan, perusahaan menambah tenaga kerjanya pada bulan September.

Ini adalah pertama kalinya staf ditambahkan ke angkatan kerja dalam tiga bulan terakhir. Langkah tersebut dilakukan karena para pelaku usaha optimistis kondisi bisnis ke depan akan membaik.

3. Deflasi selama 5 bulan berturut-turut

Indonesia kembali mengalami deflasi selama lima bulan berturut-turut secara bulanan pada Mei-September 2024. Situasi ini mirip dengan situasi pada tahun 1998/1999, ketika deflasi juga terjadi secara berturut-turut.

Badan Pusat Statistik (CSTA) pada Selasa (10/1/2024) mengumumkan Indeks Harga Konsumen (IHK) September 2024 turun atau tercatat deflasi sebesar 0,12% secara bulanan atau year-on-month (mtm). Indikator deflasi tersebut lebih dalam dibandingkan kondisi Agustus 2024 sebesar 0,03%.

Sebagai referensi, Indonesia terakhir kali mengalami deflasi (mtm) selama lima bulan adalah pada tahun 1999. Pada tahun ini, Indonesia mencatatkan deflasi selama delapan bulan berturut-turut, yaitu pada bulan Maret (-0.18%), April (-0.68%), Mei (-0.28%), Juni (-0.34%), Juli (-1.05%), Agustus ( -0.71%), September (-0.91%) dan Oktober (-0.09%).

Perlu diketahui, kondisi perekonomian Indonesia saat itu sedang terpuruk akibat krisis tahun 1997/1998.

Harga pangan yang cenderung menurun memang menyebabkan deflasi bulanan dan memperlambat laju inflasi tahunan. Namun, ada kemungkinan daya beli masyarakat melemah yang juga berpotensi menyebabkan deflasi selama lima bulan berturut-turut.

Namun, banyak yang menilai deflasi selama lima bulan berturut-turut juga disebabkan oleh melemahnya daya beli. Terlebih lagi, Indonesia secara historis lebih sering mengalami inflasi dibandingkan deflasi.

Indeks harga konsumen Indonesia sangat dipengaruhi oleh faktor penawaran. Indeks harga konsumen akan melonjak atau mencatatkan inflasi yang tinggi jika terjadi gangguan pada pasokan bahan pangan seperti cabai dan beras. Jika pasokan kembali mencukupi, harga akan kembali normal dan inflasi akan terkendali.

Di sisi lain, inflasi yang didorong oleh permintaan biasanya hanya terjadi pada waktu-waktu tertentu seperti Ramadhan dan menjelang Idul Adha. Bulan setelah Idul Fitri biasanya mengalami deflasi karena permintaan anjlok. Namun deflasi biasanya hanya terjadi 1-2 bulan karena permintaan sudah kembali normal.

Berbeda dengan tahun ini, deflasi terus terjadi di tengah melimpahnya pasokan mulai dari beras hingga telur. Buktinya, para peternak telur menggelar demonstrasi karena harga turun setelah permintaan terus turun.

Fakta tersebut kemudian menimbulkan kekhawatiran jika terjadi permasalahan pelemahan daya beli. Tingginya angka pengangguran dan pemutusan hubungan kerja (PHK) menjadi salah satu faktor melemahnya daya beli sehingga menyebabkan lesunya permintaan barang dan deflasi.

4. PHK yang semakin tidak terkendali.

Melemahnya daya beli disebabkan oleh meningkatnya pemutusan hubungan kerja (PHK). Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) mencatat adanya peningkatan jumlah PHK hingga September 2024 sebanyak 52.993 pekerja di Indonesia.

Angka ini lebih tinggi 25,3% dibandingkan September 2023 yang terjadi PHK sebanyak 42.277 pekerja, dan lebih tinggi 14,6% dibandingkan Agustus 2024 yang terjadi PHK sebanyak 46.240 pekerja.

Sektor manufaktur masih menjadi sektor yang rawan PHK pada tahun ini, termasuk industri tekstil, pakaian jadi, dan alas kaki. Sementara itu, kenaikan cukai rokok menjadi penyebabnya.

5. Penurunan pendapatan pemerintah

Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengatakan hingga Agustus 2024, pendapatan pemerintah yang dihimpun sebesar Rp1.777 triliun atau 63,4% dari target APBN 2024 sebesar Rp2.802,3 triliun. Capaian tersebut lebih rendah atau menurun sebesar 2,5% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya (dibandingkan periode yang sama tahun lalu).

Sementara itu, Wakil Menteri Keuangan (Wamenkeu) II Thomas Jiwandono mengatakan, pendapatan negara yang dihasilkan melalui penerimaan pajak mencapai Rp1.196,54 triliun hingga Agustus 2024 atau 60,16% dari target APBN.

Secara neto, penerimaan pajak Agustus 2024 turun 4,02%. Penurunan penerimaan pajak dipengaruhi oleh penurunan harga komoditas dan produksi minyak. Hal ini terutama terlihat pada pendapatan PF nonmigas dan penurunan PF migas.

Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan Barang Mewah (PPN BM) sebesar Rp 470,81 triliun (naik 7,36% year-on-year), Pajak Pembangunan Tanah (PBB) dan pajak lainnya sebesar Rp 15,76 triliun (naik 34,18% year-on-year). on-year) dan PPh migas sebesar Rp 44,45 triliun (turun 10,23% year-on-year).

(Oh)

Tonton videonya di bawah ini:

Video: Tinggal satu bulan lagi masa jabatannya, Jokowi menghadapi dua kabar buruk



Artikel selanjutnya

Indef: Transformasi Ekonomi Indonesia Dinilai Masih Prematur, Ini Alasannya!


Leave a Comment