Jakarta, Harian – Rencana Kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) yang dilakukan pemerintah dari 11% menjadi 12% pada awal tahun depan, sesuai dengan instruksi Undang-Undang Harmonisasi Undang-undang Perpajakan (THLH), masih menjadi fokus perhatian berbagai kalangan di masyarakat, mulai dari ekonom, pengusaha hingga pejabat pemerintah dan mantan pejabat.
Kelompok ini justru banyak yang menolak kenaikan PPN hingga 12%, mengingat lemahnya daya beli masyarakat. Menteri Keuangan era Presiden Joko Widodo Bambang Brojonegoro pun angkat bicara.
Ia menegaskan penolakannya terhadap rencana pemerintah menaikkan tarif pajak pertambahan nilai atau PPN jika dilakukan untuk mengimbangi penurunan pajak penghasilan badan (PPh).
“Pada dasarnya saya kurang setuju. Tapi karena itu dilakukan dan kebetulan diumumkan di panggung,” ujarnya di Squawk Box Harian dikutip Rabu (12 April 2024).
Bambang mengungkapkan, saat menjadi Menteri Keuangan periode pertama Presiden Joko Widodo atau Jokowi, ia aktif menentang hal tersebut karena didasari oleh ketidakadilan paket kebijakan kompensasi perpajakan karena setiap transaksi masyarakat Indonesia dikenakan PPN, sedangkan pendapatan perusahaan. pajak hanya dipungut dari perusahaan menengah dan besar.
“Karena menurut saya, kalau PPh badan kita potong, yang diuntungkan, maaf, pengusaha menengah dan besar,” kata ekonom senior yang pernah menjabat Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas periode 2016-2019 itu. periode.
Sedangkan jika kompensasinya berupa kenaikan PPN, maka akan berdampak pada seluruh masyarakat, seluruh masyarakat Indonesia yang melakukan transaksi ekonomi. Tidak peduli mereka kelas atas atau kelas bawah, ”tegasnya.
“Butuh uang”
Mantan Wakil Menteri Keuangan Annie Ratnavati mengungkapkan kecurigaannya mengapa pemerintah terkesan bersikeras menerapkan pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar 12% di tengah tekanan terhadap daya beli masyarakat.
Ada yang menduga pemerintah membutuhkan tambahan pendapatan untuk membiayai program baru pemerintah.
“Kita tahu pemerintah sekarang perlu meningkatkan pendapatan negara, ada program-program baru yang perlu didanai,” kata Annie di Tax Time Harian, dikutip Rabu (12 April 2024).
Selain mendanai program tersebut, Annie menduga pemerintah membutuhkan banyak dana untuk kebutuhan lain, yakni untuk melunasi utang jatuh tempo dan bunga utang. Dia mengatakan pemerintah sadar akan menghadapi jatuh tempo utang yang semakin dekat dan kenaikan suku bunga utang pada tahun 2025 dan 2026.
“Tahun 2025 dan 2026 kita harus membayar utang dan bunga utang dalam jumlah besar, padahal APBN kita ada batasannya… itu urgensinya kenapa PPN menjadi 12%,” ujarnya.
Meski mengetahui kebutuhan pemerintah, Annie menilai kenaikan PPN hingga 12% tidak praktis dan justru akan menekan daya beli masyarakat. Apalagi, kata dia, masyarakat juga akan menghadapi berbagai kenaikan iuran seperti BPJS Kesehatan, biaya perumahan, dan rencana transisi subsidi BBM.
“Jadi persoalan-persoalan ini membuat kita memikirkan daya beli, khususnya kelas menengah kita,” ujarnya.
Politisi Gerindra yang pernah menjabat Menteri Keuangan pada Maret hingga Mei 1998 di masa pemerintahan Soeharto, Fouad Bawazier, menilai penolakan kenaikan PPN merupakan hal yang wajar karena perekonomian negara saat ini sedang kurang baik, terutama dari sisi belanja masyarakat. kekuatan. Hal ini tercermin dari deflasi selama 5 bulan berturut-turut pada Mei hingga September 2024, sebelum akhirnya inflasi dapat diabaikan sebesar 0,08% pada Oktober 2024.
“Artinya banyak yang mengira ini adalah penurunan daya beli. Khususnya bagi masyarakat kelas menengah. Hal ini dapat dilihat dalam berbagai cara. sebenarnya sedang berkembang,” kata Fouad.
Fuad meyakini persoalan tersebut pasti akan menjadi pertimbangan Prabowo saat merevisi rencana kenaikan PPN sesuai ketentuan UU Pembangkit Listrik Tenaga Air.
Ia mengatakan, keterlambatan pelaksanaan amanat UU tersebut terjadi pada tahun 1985 saat UU PPN akan mulai berlaku. Saat itu, pemerintah memutuskan untuk menunda penerapan tarif PPN 10% karena kondisi perekonomian masyarakat belum siap menanggung beban retribusi pada setiap transaksi barang dan jasa.
“Salah satunya PPN yang seharusnya mulai berlaku pada Januari 1984, dimajukan menjadi Januari 1985. Ya, itu mungkin. Misalnya, apakah ditunda hingga ada pemerintahan baru atau tidak, seharusnya sudah mulai berlaku pada tahun 2025,” kata Fouad.
Prabowo boleh saja mengeluarkan Perppu
Sementara penolakan keras datang dari mantan Dirjen Pajak era Presiden SBY Hadi Poernomo. Ia meminta pemerintah membatalkan kenaikan tarif PPN sebesar 12%, bukan sekadar menunda penerapannya.
Sebagai alternatif, Hadi mengusulkan sistem perpajakan berbasis self-assessment monitoring system untuk menjaga penerimaan negara sekaligus menurunkan tarif PPN hingga 10%.
Ia juga menekankan bahwa kebijakan perpajakan harus melindungi daya beli masyarakat awam dan mendorong pemerataan ekonomi.
Hadi yakin pemerintah bisa menerbitkan peraturan pengganti undang-undang (Perppu) untuk mencabut ketentuan PPN 12 persen dalam UU Pembangkit Listrik Tenaga Air.
“Penerbitan Perppu bisa dilakukan untuk mencegah kenaikan tarif PPN. Karena sudah diatur undang-undang dalam UU Pembangkit Listrik Tenaga Air,” tambah Hadi dalam siaran persnya, dikutip Rabu (12 Maret 2024).
Ia juga menambahkan, mengacu pada UU HPP, tarif PPN sebesar 12 persen akan berlaku mulai 1 Januari 2025. Artinya, masih ada waktu satu bulan lagi untuk mencabut aturan tersebut.
“Pemerintah masih bisa dalam waktu singkat dengan menerbitkan perppu karena hanya memerlukan persetujuan Presiden Prabowo Subianto,” kata Hadi.
Khadi menunjukkan penggunaan PPN sebagai sumber utama hanya akan membebani masyarakat kecil yang sebagian besar pendapatannya digunakan untuk konsumsi.
Hadi mengusulkan sistem pemantauan self-assessment yang mana seluruh transaksi finansial dan non finansial wajib pajak harus tercermin secara utuh dan transparan. Dengan demikian, pajak tidak hanya menjadi sumber utama penerimaan negara, namun juga merupakan alat yang sangat strategis dalam pemberantasan korupsi dan pelunasan seluruh utang pemerintah.
Menurutnya, korupsi dan penghindaran pajak memiliki ciri yang sama, yaitu muncul karena adanya peluang. Prinsip self-assessment yang didasarkan pada kejujuran wajib pajak dapat mengakibatkan pelaporan pajak tidak benar dan akurat. Dalam sistem self-assessment, wajib pajak diberikan hak untuk menghitung sendiri pajaknya, membayar pajak yang terutang dan melaporkannya melalui Surat Pemberitahuan (NTR) yang disampaikan kepada otoritas pajak.
Selain itu, penting juga untuk mengembangkan dan memperkuat alat pengawasan yang memungkinkan fiskus melakukan pemeriksaan terhadap rekening wajib pajak sehingga prinsip self-assessment dapat dilaksanakan dengan lebih efektif dan akuntabel.
“Jika sistem ini diterapkan maka keadilan perpajakan akan terwujud. Petugas pajak tidak bisa bertindak sembarangan. Ini kunci terciptanya pemerataan perpajakan,” kata Hadi.
Berkat sistem pemantauan self-assessment, transparansi yang dihasilkan memungkinkan perluasan basis pajak yang lebih akurat. Hal ini membuka kemungkinan untuk menurunkan tarif pajak tanpa mengurangi pendapatan pemerintah, karena basis pajak yang lebih luas masih dapat mendukung kenaikan tarif pajak yang besar.
Dengan demikian, jika seluruh perbaikan dilakukan maka tarif PPN bisa diturunkan kembali menjadi 10 persen sehingga daya beli masyarakat meningkat tanpa mengurangi pendapatan negara.
(haa/haa)
Artikel selanjutnya
Tidak ada pembatalan, PPN akan naik menjadi 12% pada tahun 2025 menurut undang-undang!