Jakarta, Harian – Komisi Pengaturan Persaingan Usaha (BCRC) menduga ada kolusi dalam tender pengadaan instalasi penyediaan air bersih dengan teknologi SWRO (sea water reverse osmosis) di Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Kabupaten Lombok Utara. pada tahun anggaran 2017.
Dugaan tersebut tertuang dalam Laporan Dugaan Gangguan (LDP) yang dibacakan Penyidik Kejaksaan KPPU di hadapan Majelis Komisi pada sidang pertama pemeriksaan pendahuluan Perkara Nomor 11/KPPU-L/2024 pada hari Jumat, 1 November 2024, di Ruang Sidang Fakultas Hukum Universitas Mataram Nusa Tenggara Barat.
Bertindak dalam hal ini sebagai Majelis Komisi, Rido Jusmadi sebagai Ketua Majelis Komisi dan Moh. Nur Rofiek dan M. Fanshurullah Asa (hadir secara virtual) selaku anggota Dewan Komisioner. Perkara Nomor 11/KPPU-L/2024 tentang dugaan pelanggaran Pasal 22 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Tender Pengadaan Pabrik Penyedia Air Bersih Melalui Teknologi SWRO (Unit Initiative) Pada Air Minum Kabupaten Lombok Utara Perusahaan Daerah (PDAM) tahun anggaran 2017, berdasarkan laporan masyarakat.
Kasus ini melibatkan dua terlapor, yakni Perusahaan Umum Daerah (PERUMDA) Air Minum Amerta Dayan Gunung (d/h Perusahaan Daerah Air Minum Kabupaten Lombok Utara) sebagai terlapor dan PT Tiara Cipta Nirwana sebagai terlapor. Subyek perkaranya adalah akuisisi entitas komersial penyedia air bersih dengan menggunakan teknologi SWRO sebagai bagian dari inisiatif entitas komersial Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Kabupaten Lombok Utara untuk tahun anggaran 2017.
Di LDP, penyidik KPPU menduga adanya kolusi terjadi karena Terlapor I tidak merencanakan dan menyelenggarakan pengadaan secara maksimal. Hal ini terlihat dari penugasan panitia pengadaan yang tidak memiliki pengalaman dan pengetahuan mengenai proyek kerja sama pemerintah-bisnis (GBP), serta tidak dibekali data dan informasi yang memadai. Selain itu, pembelian tersebut diketahui dilakukan dengan melanggar ketentuan yang berlaku saat ini (yaitu Keputusan Kepala LKPP Nomor 19 Tahun 2015 dan Keputusan Direktur PDAM Nomor 800.09 Tahun 2017).
Hal ini dibuktikan dengan dokumen kualifikasi Pelapor II yang hilang atau diragukan, dan penetapan Pelapor II sebagai pemenang dilakukan setelah melalui proses kualifikasi tanpa pencalonan langsung. Bahkan, Pelapor II diperbolehkan sekaligus mengajukan usulan harga pada hari yang sama dengan ditetapkannya pemenang lelang.
Berdasarkan berbagai temuan di atas, penyidik KPPU menduga adanya konspirasi untuk memastikan Terlapor menjadi pemenang tender dengan mengabaikan proses evaluasi dan negosiasi. Hal ini mengakibatkan penawaran awal Terlapor II dapat dibatalkan atau hilang karena pendekatan dan bantuan eksklusif Terlapor I yang langsung menetapkan Terlapor II sebagai pemenang.
Sehingga, penyidik KPPU menduga telah terjadi pelanggaran Pasal 22 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang persekongkolan tender dalam kasus Cavo. Berikutnya adalah sidang kedua yang akan dilaksanakan pada tanggal 15. November 2024 dengan agenda mendengarkan tanggapan terlapor atas laporan dugaan pelanggaran yang disampaikan penyidik Kejaksaan KPPU.
(dpu/dpu)
Artikel berikutnya
KPPU menekankan pentingnya transformasi kelembagaan