Jakarta, Harian – Sayat (72 tahun) sudah bertahun-tahun bekerja sebagai tukang becak di Magelang, Jawa Tengah (Jateng). Dia bermimpi menjadi kaya dengan cara lain.
Meski demikian, ia tetap menekuni profesinya sebagai tukang becak. Dia melakukan perjalanan berkilo-kilometer setiap hari dengan becak untuk mengangkut penumpang dan mendapatkan uang. Nantinya, sejumlah kecil uang itu dibagi sesuai kebutuhan. Ada pula yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari.
Selain itu, ada yang dipertahankan sebagai klausul perpanjangan kontrak pembangunan rumah. Sementara itu, sebagian juga digunakan untuk membeli kupon undian. Cara ini merupakan strategi Sayat untuk keluar dari kesenjangan kemiskinan.
Kupon undian yang dimaksud adalah Kontribusi Filantropis Sosial Berhadiah (SDSB). Sejak 1 Januari 1989, SDSB menjadi kupon lotere milik pemerintah.
Masyarakat bisa membeli kupon mulai dari Rp 1.000 hingga puluhan ribu. Ke depan, pemerintah akan menggunakan uang lotere untuk pengembangan modal.
Sebagai imbalannya, pemerintah memberikan hadiah senilai miliaran rupee yang ditentukan dengan cara mengocok kupon pembelian. Tentunya dengan peluang menang yang sangat kecil. Sayat melihat kupon ini sebagai cara untuk keluar dari perangkap kemiskinan. Hampir setiap minggu ia membeli tiket lotre dengan harapan mendapat kemenangan Rp 1 miliar.
Sayangnya, kupon yang dibelinya tidak pernah memenuhi persyaratan pemerintah. Hingga akhirnya pada hari Rabu tanggal 9 Mei 1990 terjadilah keajaiban.
Tepat pukul 23.30, Sayat menyalakan radio yang akan mengumumkan pemenang SDSB. Ia pun mendengarkan dengan seksama penyiar yang menyebutkan nomor kupon lotere pemenang.
“Delapan, empat, sembilan, tiga, tujuh… dan akhirnya sembilan!” – kata penyiar yang dikutip surat kabar “Vaspada” (17 Mei 1990).
Saat penyiar mengumumkan nomor terakhir, Sayat langsung kaget. Ternyata, semua nomornya sesuai dengan kupon yang dimilikinya. Artinya Sayat sah menerima Rp 1 miliar dari pemerintah.
“Pria tua dan keriput ini keluar dari rumahnya yang berdinding bambu untuk membungkuk dan mencium tanah di halaman,” tulis reporter harian Waspada.
Sang istri menangis. Apa yang selalu menjadi mimpi, ternyata menjadi kenyataan di tengah malam.
Keesokan harinya, Sayat melaporkan kemenangan tersebut kepada pihak terkait. Setelah itu, seisi kota Magelang bergembira karena tukang becak itu tiba-tiba menjadi miliarder.
Pada tahun 1990, jumlah Rp 1 miliar sangatlah besar. Harga rumah di kawasan Pondok Indah kelas atas Jakarta saja mencapai Rp 80 juta per unit. Artinya, dengan harga Rp 1 miliar, Sayat mampu membeli 12 unit rumah di Pondok Ind.
Kemudian harga emas pada tahun 1990 hanya 20 ribu rupiah per gram. Dengan Rp1 miliar, Sayat bisa membeli 50 kg emas. Artinya, jika dikonversikan dengan menyamakan harga emas (1 gram: Rp 1 juta), maka diketahui 1 miliar rupee setara dengan Rp 50 miliar saat ini.
Uang miliaran akan ditransfer langsung oleh Menteri Politik, Hukum, dan HAM Sudomo di Jakarta. Untungnya, Sayat tahu tentang investasi dan memilih untuk tidak membuang-buang uang.
Dia mengatakan kepada Vaspada bahwa dia akan menghabiskan setengah uangnya untuk deposit. Dan sisanya akan digunakan untuk membeli rumah dan modal hidup untuk anak-anaknya.
Ia juga menyatakan tidak lagi terlibat dengan SDSB. Bagaimanapun, dia sudah menjadi miliarder. Alhasil, ia memutuskan untuk fokus beribadah, membangun masjid, dan mengasuh anak cucunya hingga meninggal dunia.
Namun kisah Sayat tidak bisa dijadikan contoh karena SDSB tidak ada bedanya dengan perjudian saat ini. Namun saat itu SDSB telah disahkan oleh pemerintah melalui Kementerian Sosial.
Pada akhirnya, cerita seperti Sayat tidak ada lagi, karena SDSB dibubarkan pada tahun 1993.
(pgr/pgr)