Jakarta, Harian – Belakangan ini topik gempa besar di Indonesia ramai diperbincangkan di media sosial. Masalah ini muncul setelah gempa bumi dahsyat berkekuatan 7,1 skala Richter (SR) terjadi pada 8 Agustus di Pulau Kyushu, Jepang.
Kepala Pusat Gempa Bumi dan Tsunami Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Dariono pun mengingatkan, hanya tinggal menunggu waktu saja sebelum gempa melanda dua zona megathrust, yakni Megathrust Selat Sunda dan Mentawai-Siberut. Megadorongan.
Pasalnya, kedua zona tersebut sudah lama tidak mengalami gempa atau seismik pecah, yakni lebih dari dua abad. Biasanya, gempa bumi besar memiliki siklus yang berlangsung selama ratusan tahun.
Namun BMKG sendiri belum bisa memastikan kapan bencana ini terjadi. Kepala BMKG Dwikorita Karnawati mengatakan, pihaknya terus membahas masalah tersebut agar masyarakat siap menghadapi dampak mega talk di Indonesia.
“Sebenarnya permasalahan megathrust bukanlah hal baru. Ini merupakan permasalahan yang sudah ada sejak lama. Tapi kenapa BMKG dan beberapa ahli memperingatkan? Tujuannya, “ayo, jangan hanya sekedar bicara, segera lakukan mitigasi (aksi mitigasi bencana),” kata Dwikorita seperti dikutip CNN Indonesia, Sabtu (10 Mei 2024).
“Jadi tujuannya ada: mitigasi dan edukasi, persiapan, kesiapsiagaan,” imbuhnya.
Dwikorita melanjutkan, pihaknya telah melakukan berbagai langkah untuk mengantisipasi mega mogok tersebut. Pertama, letakkan sensor Sistem Peringatan Dini Tsunami InaTEWS di seberang zona megathrust.
“InaTEWS sengaja diposisikan untuk melawan arah megathrust. BMKG awalnya bertujuan untuk menangkal dan memitigasi megathrust,” jelasnya.
Kedua, mendidik komunitas lokal dan internasional. Salah satu bentuk spesifiknya adalah membantu pemerintah daerah (Pemda) menyiapkan berbagai infrastruktur mitigasi, seperti jalur evakuasi, sistem peringatan dini, dan shelter tsunami.
Ia juga bergabung dengan Pusat Informasi Tsunami Samudera Hindia yang juga berkantor di kompleks BMKG. Tujuan dari komunitas ini adalah untuk melatih 25 negara di Samudera Hindia tentang cara menghadapi gempa bumi dan tsunami.
“Kami mengedukasi masyarakat bagaimana mempersiapkan masyarakat dan pemerintah daerah ketika terjadi gempa besar dan menimbulkan tsunami,” ujarnya.
Ketiga, memeriksa secara berkala sistem peringatan dini yang diberikan kepada pemerintah daerah.
“Sirene [peringatan tsunami] Seharusnya itu tanggung jawab pemerintah daerah, hibah dari BNPB, hibah dari BMCG, tapi isinya dari pemerintah daerah, ini otonomi daerah. Ternyata kami selalu mengecek sirene pada tanggal 26. [tiap bulan]kebanyakan berisik, tapi ada kemacetan,” jelasnya.
Keempat, menyebarluaskan peringatan dini bencana alam. Kalau masyarakat mau bersiap, berarti harus ada sosialisasi, kata Dwi. “Cominfo membantu kami,” tutupnya.
(fsd/fsd)
Artikel berikutnya
Liputan media asing tentang gempa megathrust di Rio de Janeiro, sebut saja