Jakarta, Harian – Banyaknya kelas menengah yang turun statusnya menjadi kelas menengah rentan atau kelas rentan miskin mempengaruhi perlambatan transaksi perekonomian di Indonesia. Perlambatan ini tercermin pada transaksi QR Indonesia Standard (QRIS).
Direktur Utama Bank Jatim (BJTM) Busul Iman mengatakan jumlah transaksi QRIS turun pada Juni hingga Agustus 2024. Nilai nominal transaksi QRIS Merchant mencapai Rp 176,30 miliar pada Juni 2024, namun turun menjadi Rp 127,91 miliar pada Juli dan naik tipis. Pada bulan Agustus 130,51 miliar.
“Dari data yang ada terlihat jelas transaksi QRIS pada bulan Juni hingga Agustus 2024 mengalami penurunan yang cukup tajam, namun jika dilihat 8 bulan terakhir masih terjadi peningkatan,” kata Busrul dalam wawancara dengan Harian, dikutip pada hari Minggu. (22/09/2024).
Pecahan QRIS Merchant Bank Jatim justru meningkat pada Agustus dari pecahan Januari sebesar Rp 76,11 miliar. Namun, tren penurunan transaksi QRIS terjadi pada bulan Juni hingga Agustus, bertepatan dengan deflasi inti yang terjadi selama empat bulan berturut-turut mulai bulan Mei.
Meski begitu, Busrul mengatakan transaksi melalui tabungan digital Bank Jatim, seluler, dan kartu debit J Connect masih tumbuh relatif positif.
Sementara itu, Chief Compliance Officer Bank Oke Indonesia (DNAR) atau OK Bank Indonesia Efdinal Alamsyah mengatakan realisasi akumulasi simpanan juga turun sekitar 12% year-on-year atau year-on-year (dibandingkan tahun sebelumnya) per September. 4 2024.
Menurut Efdinal, menurunnya daya beli memaksa masyarakat mengalihkan belanjanya ke kebutuhan pokok atau barang-barang yang lebih diperlukan.
“Hal ini mungkin tercermin dari perubahan pola transaksi, seperti berkurangnya transaksi pada kategori seperti hiburan atau restoran, sedangkan ada peningkatan pada kategori seperti makanan atau perlengkapan rumah tangga,” ujarnya kepada Harian.
Direktur Utama Bank BJB (BJBR) Yuddy Renaldi mengatakan dampak tren konsumsi kelas menengah yang menurun menyebabkan biaya transaksi nasabah menjadi lebih rendah. Frekuensi transaksi pentolan BPD itu masih bertambah, namun biayanya menurun.
“Adapun tren konsumsi kelas menengah melalui transaksi melalui jalur elektronik, terutama dari segi tren, kami melihat dari segi frekuensinya masih terus meningkat, namun yang mengkhawatirkan adalah nilai yang diterima untuk biaya uang transaksi,” kata Dia. Yuddy saat dihubungi Harian.
Yuddy mencontohkan, setiap harinya pembeli menghabiskan Rp 100 ribu untuk 10 produk, namun kini jumlah belanjanya sama hanya untuk 8-9 produk.
Foto: Warga berjalan-jalan di sekitar kawasan hub transportasi Dukuh Atas, Jakarta, Senin (26 Februari 2024). (Harian/Tri Susilo)
|
Artinya, segala sesuatunya bukan tergantung pada jumlah uang yang dikeluarkan, tapi pada daya beli uang itu. Inflasi dan daya beli menekan daya beli,” jelas Yuddy.
Bank swasta terbesar di Indonesia BCA (BBCA) juga menghadapi penurunan kelas menengah yang tidak dapat dihindari. Presiden Direktur BCA Jahja Setiatmadja mengatakan tren tersebut tidak berdampak pada operasional QRIS atau debit, namun ia mengakui bahwa tren tersebut berdampak pada penyaluran kredit ritel.
“Untuk saat ini, situasi pinjaman ritel lebih rumit,” ujarnya kepada Harian.
Meski begitu, Jahya mengatakan kredit konsumer seperti Kredit Pembelian Rumah (KPR) dan Kredit Mobil (KKB) di BCA terus tumbuh karena suku bunga yang murah. “KPR dan KKB semakin untung karena bunganya murah,” ujarnya.
Kelas menengah menyusut
Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penduduk kelas menengah di Indonesia pada tahun 2019 berjumlah 57,33 juta jiwa atau setara dengan 21,45% dari total penduduk. Kemudian pada tahun 2024 hanya tersisa 47,85 juta jiwa atau setara 17,13%.
Artinya, 9,48 juta masyarakat kelas menengah telah meninggalkan kelas. Data kelas menengah rentan atau calon kelas menengah sebenarnya meningkat dari 128,85 juta orang atau 48,20% dari total penduduk pada tahun 2019 menjadi 137,50 juta orang atau 49,22% dari total penduduk.
Begitu pula dengan jumlah kelompok rentan kemiskinan yang juga meningkat dari 54,97 juta jiwa atau 20,56% pada tahun 2019 menjadi 67,69 juta jiwa atau 24,23% dari total penduduk pada tahun 2024. Artinya, banyak kelompok kelas menengah yang akan menurunkan peringkat kedua kelompok tersebut. .
(hsy/hsy)
Artikel berikutnya
Video: Hati-hati! Dampak 'mengerikan' dari tingginya UKT mengintai masyarakat kelas menengah