Jakarta, Harian – Presiden terpilih Prabowo Subianto berkomitmen menjadikan Indonesia kembali menjadi negara industri seperti pada masa Orde Baru. Namun, kini semakin sulit untuk mengalahkan industrialisasi Tiongkok.
Ketua Dewan Pakar TKN Prabowo-Jibran Burhanuddin Abdullah mengatakan, pada masa Orde Baru, United Nations Industrial Development Organization (UNIDO) sebenarnya menyebut Indonesia hampir menjadi negara industri.
Pasalnya, kontribusi pertumbuhan industri manufaktur atau pengolahan hampir mencapai 30% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), tepatnya hingga 29% pada tahun 1996. Namun, kini justru terjadi deindustrialisasi karena porsi PDB-nya hanya 18%.
“Kalau UNIDO punya predikat 30% ke atas, maka kita negara industri, 20-30% negara industri, dan kurang dari 20% pra industri %, itu saja. masa pra-industri,” kata Burhanuddin pada acara UOB Economic Outlook 2024 di Jakarta, Rabu (25 September 2024).
Oleh karena itu, pada masa kepemimpinan Prabowo, terhitung sejak dilantik pada 20 Oktober 2024, Burhanuddin menyatakan Indonesia akan kembali berperan sebagai negara industri untuk menciptakan lapangan kerja, mengurangi impor, dan memenuhi kebutuhan berbagai barang, terutama barang-barang penting bagi negara.
Meski demikian, diakui Burhanuddin, perkembangan industrialisasi ke depan akan penuh tantangan, terutama karena strategi Tiongkok yang terus fokus menjadi negara industri melalui produksi massal berbagai barang murah dengan tetap menjaga kualitas.
“Jadi sangat sulit bagi kami, apalagi dengan situasi saat ini, mungkin 48% barang industri adalah buatan China, dengan kualitas lebih baik dan harga lebih murah,” kata Burhanuddin.
“Kalau kita bisa mengetahui barang industri apa yang bisa kita buat, belum tentu harganya murah. Kami merasa terpojok di sini karena industrialisasi selanjutnya bisa berbasis sumber daya alam (SDA),” tegasnya.
Meski aktivitas ekonomi melambat, tumbuh sekitar 8% sebelum Covid-19 dan kini hanya sekitar 5%, Tiongkok, menurut Burhanuddin, juga tidak mengambil strategi merangsang permintaan dalam negeri terlebih dahulu, melainkan tetap fokus pada produksi. barang-barang industri akan membanjiri pasar dunia.
“Walaupun dalam keadaan sulit, ingin mempertahankan pertumbuhan tanpa meningkatkan permintaan dalam negeri, terus melakukan industrialisasi, jadi ya, ini bukan hanya masalah Indonesia, semua negara punya masalah dengan China, karena China memproduksi berbagai macam barang. ,” kata Burhan.
Burhanuddin menegaskan, meski menghadapi banyak kendala, pemerintahan Prabowo ke depan akan terus mengupayakan program industrialisasi, khususnya melalui pengolahan 21 komoditas di Indonesia. Namun dia tidak menampik, industrialisasi produk kimia menjadi tekstil dan produk tekstil juga akan terus didorong dengan memetakan niche market atau target pasar tertentu.
“Kalau kita bisa memilih ceruk pasar yang tepat, kita tetap bisa bersaing. Dan ya, mendaur ulang, menurut saya mendaur ulang 21 produk itu sangat inventif dan sangat penting untuk masa depan,” ujarnya.
Burhanuddin juga mengakui industrialisasi produk ekonomi digital sebenarnya cukup menjanjikan. Pasalnya, ia mengaku sempat makan malam bersama Menteri Komunikasi dan Informatika Budi Aryeh dan mendapat informasi bahwa potensi digitalisasi perekonomian Indonesia bisa mencapai 300-800 miliar dollar AS.
“Katanya US$800 miliar, padahal hanya dari AI (artificial Intelligence) saja US$300 miliar. “Saya tentu kagum dan berharap hal ini menjadi kenyataan bagi republik kita,” ujarnya.
(Arj/ya)
Artikel berikutnya
Video: Indonesia menghadapi deindustrialisasi dini!