Jakarta, Harian – Bank Indonesia (BI) buka suara menyikapi kondisi deflasi berturut-turut yang dihadapi Indonesia selama lima bulan berturut-turut pada Mei-September 2024.
Deputi Gubernur BI Judah Agung mengatakan deflasi tidak perlu terlalu dikhawatirkan karena masih sejalan dengan target inflasi BI.
Judah mengatakan, tekanan inflasi hingga September 2024 yang sebesar 1,84% year-on-year masih sesuai target BI sekitar 2,5% plus minus 1%.
“Jadi masih dalam rentang yang bisa diterima. Kami tidak melihat ini sebagai pelemahan perekonomian kita yang berlebihan,” kata Judah Agung di Gedung BI, Jakarta, Rabu (10 Feb 2024).
Seperti diketahui, deflasi terjadi selama lima bulan berturut-turut sejak Mei 2024 sebesar 0,03% secara bulanan, kemudian berlanjut pada Juni 2024 di level 0,08%, dan Juli 2024 di level 0,18%. Kemudian pada Agustus 2024 menjadi 0,03%, dan mulai September 2024 semakin dalam menjadi 0,12%.
Meski demikian, inflasi tahunan masih sebesar 1,84% dan inflasi tahun kalender masih sebesar 0,74%.
Padahal kalau kita lihat inflasi kita akhir-akhir ini sangat stabil di kisaran 2%, dan itu masih dalam kisaran BI yaitu 2,5% plus minus 1%, kata Judah Agung.
Sebelumnya Plt. Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Amalia Adininggar Widyasanti mengatakan deflasi yang konsisten selama satu tahun kalender bukan kali pertama terjadi di Indonesia. Ia mengatakan, kondisi tersebut muncul ketika Indonesia sedang mengalami krisis mata uang (crismon) atau krisis keuangan Asia pada tahun 1998-1999.
“Tentunya jika kita melihat dan mencermati data BPS tahun 1999, pasca krisis keuangan Asia, Indonesia mengalami deflasi selama 7 bulan berturut-turut sejak Maret 1999 hingga September 1999 akibat turunnya harga beberapa barang saat itu. kata Amalia saat jumpa pers di Kantor Pusat BPS Jakarta, Selasa (10/1/2024).
Amalia mengatakan, kondisi deflasi yang konsisten muncul pada periode tersebut disebabkan oleh turunnya harga beberapa komoditas menyusul tingginya inflasi akibat depresiasi nilai tukar rupee yang cukup dalam.
Selain periode inflasi tujuh bulan berturut-turut pada tahun 1999, kata Amalia, fenomena penurunan harga di kawasan juga terjadi pada akhir tahun 2008 hingga awal tahun 2009. Penyebabnya adalah penurunan harga minyak dunia.
Deflasi berurutan juga terjadi selama tiga bulan antara Juli dan September 2020, katanya. Seperti diketahui, pada periode inilah krisis pandemi Covid-19 terjadi.
“Periode deflasi kembali terjadi pada tahun 2008-2009 yaitu pada bulan Desember 2008 hingga Januari 2009 akibat turunnya harga minyak dunia, dan pada tahun 2020 juga terjadi deflasi selama 3 bulan berturut-turut pada bulan Juli hingga September 2020,” kata Amalia.
(Arj/ya)
Artikel selanjutnya
Bappenas mengungkap sejumlah tujuan Forum Air Dunia 2024